Monday, March 16, 2015

Pesona sang nabi

Posted by Denas (Dewi Nastiti)


"Kalau aku adalah Muhammad," kata Iqbal, "aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha."

Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: persoalan keteduhan di haribaan Allah, di puncak langit ketujuh, di Sidratul Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi. Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke Sidratul Muntaha itu memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah swt.

Tapi Sidratul Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya. Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Tahif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: "Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: "Pergilah kalian semua, kalian sudah kumaafkan," katanya ksatria.

Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukan jiwa-jiwa manusia dan merentas jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan karat-karat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk menyalakan dunia dengan api cinta mereka. Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi. Lalu dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:

Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta 
Dan cinta adalah ibu kita

Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung haru.

Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam. "Kemana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya." Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. Ia pun mencapai kepasrahannya

0 comments on "Pesona sang nabi"

Post a Comment

Denas (Dewi Nastiti)


"Kalau aku adalah Muhammad," kata Iqbal, "aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha."

Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: persoalan keteduhan di haribaan Allah, di puncak langit ketujuh, di Sidratul Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi. Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke Sidratul Muntaha itu memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah swt.

Tapi Sidratul Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya. Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Tahif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: "Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: "Pergilah kalian semua, kalian sudah kumaafkan," katanya ksatria.

Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukan jiwa-jiwa manusia dan merentas jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan karat-karat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk menyalakan dunia dengan api cinta mereka. Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi. Lalu dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:

Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta 
Dan cinta adalah ibu kita

Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung haru.

Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam. "Kemana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya." Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. Ia pun mencapai kepasrahannya

0 Responses

Post a Comment

 

Notes from Denas Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Templates Image by Tadpole's Notez