Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan alam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum histiris yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.
Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan, karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup ditengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena memang mereka tidak berbakat.
Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia ciptakan.”
Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini menyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.
Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhirnya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan ini bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.
Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi mereka dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu berkumpul dalam diri sang pahlawan.
Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa dan derai air mata dan bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.
Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan merasa kehilangan.
Anis Matta
0 comments on "Keunikan"
Post a Comment