Sunday, August 21, 2016

Key of happiness in life

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Katanya hidup ini singkat. Jadi jangan disia-siakan. Old saying banget ya. But it's true lho.

Dan kali ini saya pingin berbicara tentang hidup....tentang muslimah...atau lebih tepatnya kehidupan muslimah.

......

Kenapa dengan kehidupan muslimah? Kenapa mesti dibahas? Apa pentingnya?

Menurut saya penting. Muslimah kan madrasah pertama sebuah generasi. Bagus gk nya sebuah generasi ya tergantung kualitas muslimahnya.

Tapiiii banyak muslimah yang saya temui (mungkin kemarin saya juga sempat mengalami), ternyata gk paham dengan hidupnya. Entah karena nge blank dari awal atau karena sedang mengalami masalah yang ia anggap berat.

Mereka ngalir aja jalanin hari-hari. Dan yang parah lagi ada diantara mereka yang jalanin hari-harinya dalam tekanan karena merasa "bukan hidup yang ini yang aku mau". MasyaAllaaah. Kasihannya.

Padahal muslimah itu dihadapkan dengan peran yang banyak ya. Dan dia gk ngerti posisi sekaligus how to winning of life nya. Gimana coba?

Kita ngobrol sebentar ya. Jadi saya punya guru (semoga Allah senantiasa merahmati kehidupan mereka), nah dari mereka saya bisa belajar dan mendapat arti kemerdekaan cuma dari selembar kertas-dua gambar. Caileee...
Eh ini beneran lho.

Kalo teman2 pernah denger atau suka bikin yang namanya "peta hidup" (dan saya kebetulan juga suka bikin sejak smu), nah rumusan gambar dr guru saya yang ini tuh lebih futuh lagi.

Sekali bisa ngisi semua bilik-biliknya, teman2 akan tenang dan merdeka ngejalanin hidup ini. #ehem. Bismillah yaa

Saya coba gambarin rumus yang pertama. Gak usah dibatin gambarnya acak adul, nanti saya jelasin detailnya.

(Duh sebenernya sih mau nulis sambil mikir ya, usefull gak sih nulis ini. Ah tapi minimal someday anak saya bisa baca tulisan bundanya klo dia pas kangen. Collect the moments, Dew)

Sekarang kita fokus sama gambar yang berupa kuadran. Disana ada 4 bilik Key of life.
Bilik yang pertama adalah Who am I. Teman-teman wajib tau siapa diri teman-teman. Perlu waktu lama ya untuk mengisi? Atau harus merenung panjang selama 30tahun seperti Oogway mencari arti 'aku'? Kalah ya sama Poo.

Tapi ini penting. Ayo diisi. Pelan-pelan kita harus ngobrol sama diri sendiri, siapa aku apa saja peranku.

Saya, saya adalah seorang istri, seorang ibu, seorang anak, seorang adik, seorang owner kedaton, seorang owner martani.

Kenyataannya memang diri kita punya banyak peran kan? Jadi jangan ada yang dibuang atau terlupakan salah satunya.

Bilik yang kedua adalah My Life Dream.

Teman-teman ketik sudah tau dan yakin siapa diri teman-teman, sekarang coba tulis apa yang menjadi mimpi hidup.

Mudahnya adalah, saya yang sebagai seorang istri bercita-cita ingin menjadi istri yang menentramkan bagi suami. Tempat kembali yang menyenangkan. Misalnya.

Saya yang sebagai ibu bercita-cita ingin menjadi ibu yang dekat dengan anak-anak, diidolakan. Hehe

Saya yang sebagai seorang adik bercita-cinta ingin menjadi adik yang bisa membahagiakan kakak dunia dan akhirat.

Dan seterusnya.

Intinya harus tahu siapa diri teman-teman dan apa yang dimau.

Bilik ketiga adalah Relationship with others. Bilik keempat Relationship with Allah. Dua bilik ini adalah kunci utamanya. Didunia yang kita ingin menggapai mimpi, pasti kita tak sendiri. Dan karena tak sendiri, disanalah masalah muncul. Kita perlu kunci agar tetap fokus.

Kunci yang pertama jelas hubungan kita dengan Allah. Sadari betul bahwa hidup ini keseluruhannya adalah hadiah dari Allah. Dan yang namanya hadiah, berarti wajib trimakasih -gak boleh ada komplain. Pasti indah.

Kapan terakhir teman-teman terconnect dengan Allah? Yuk kita jawab dalam hati.

Muslimah yang katanya udah gak punya waktu bahkan sholat pun jarang bisa khusyuk karena digendolin anak, sebenarnya tetap punya hak untuk bermesra-mesra dengan Allah.

Dalam sehari harus punya prime time yang kita gak bisa diganggu dunia karena itu bekal sebelum melayani. Muslimah harus selesai dulu dengan dirinya.

Apakah itu dengan sholat malam, tilawah, membaca tafsir quran, buku, berbincang hati. Apapun yang melekatkan kita pada wudhu dan sajadah. Hanya Allah dan kita.

Kunci yang kedua adalah sikap kita dalam berhubungan dengan makhluk lain. NO JUDGEMENT. LIHAT LEBIH DEKAT.
Cuma itu. Iya cuma itu. Dan itu udah cukup untuk membuat hidup jadi merdeka.  Tahu siapa kita, tahu apa yang dimau, berfokus untuk connect dengan Allah, merdeka dari manusia. What a wonderful world.

Nampaknya kelanjutan gambar kedua gak akan saya tulis sekarang. Ngantuk. Hehehe...see you dear friends.








Saturday, August 20, 2016

Mars VS Venus

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Kali ini tulisan saya akan sedikit mengadu antara perempuan dan laki-laki.

Bukan. Bukan untuk mencari siapa yang unggul dan siapa yang tertinggal. Bukan untuk mencari siapa yang sempurna dan siapa yang tidak.

Fitrah Allah menciptakan segala yang bertolak belakang hanya untuk bersanding. Bersinergi.

Begitupun para pasangan suami istri dibumi ini. Fitrahnya memang bertolak belakang. Dalam sebuah kajian psikologi sisi laki-laki digambarkan sebagai Mars dan perempuan digambarkan sebagai Venus.

Belajar memahami keduanya, sebenarnya itu adalah kunci dalam membina hubungan suami istri. Karena pada kenyataannya teman hidup kita bukanlah jenis makhluk Allah yang sama dengan diri kita. Ia butuh diperlakukan sesuai dengan fitrahnya.

Sayangnya, sebelum menikah tidak banyak (atau mungkin belum ada), kelas kajian yang mengupas persiapan untuk menjadi suami/istri bahkan menjadi ayah/ibu dari sisi psikologi. Hal ini penting apalagi dimasa-masa awal pernikahan.

Siapa yang bisa menyangka bahwa bagi perempuan Love is relationship, gandengan tangan udah cukup, belai-belai aja udah beres. Dan siapa yang bisa sangka kalo ternyata bagi laki-laki Love is s*x. Yang artinya klo belum dapet yang itu ya belum love. Mau karena istri hamil atau anak lahir. Yang satu lagi fokus2nya ke anak ternyata yang lain tetap punya fokus juga.

Dari satu poin ini aja, kalo komunikasi masih malu-malu dan gak jujur, bisa jadi bencana dalam rumah tangga. Padahal akarnya karena gak paham. (Dan gk komunikasi).

Siapa yang sangka kalo bagi perempuan saat ada masalah pinginnya ditanya dan didengerin sambil dipeluk. Tapi bagi laki-laki mending ditinggal menyepi sendirian? Salah treatment aja bisa jadi musuhan sampe jelang pagi. Padahal cuma karena gk paham (dan gk komunikasi).

Laki-laki yang memang fitrahnya bekerja dengan satu fokus besar, kadang sama perempuan suka dianggap gk multitasking. Perempuan suka gk sabar hadapinnya. Padahal laki-laki sering nemunin hasil kerja yang ceroboh dari perempuan yang katanya multitasking.

Switch off button. Nah ini juga beda. Laki-laki dengan dia duduk pegang koran/majalah/berita dr gadget sambil nyeruput kopi aja udah bisa tu tombolnya berfungsi. (Walaupun banyak juga laki-laki yang nambah jatah masuk kedalam 'gua'. Hobby or their games. Ingatlah quote ini wahai perempuan, "Difference things a man and the boys is the price of their toys", jangan kaget walaupun hati mau copooottt nerima kenyataan hahahaha).

Sedangkan perempuan (yang dalam tidurnya aja dia mikir), harus ada kegiatan yang bisa hentiin otaknya. Entah itu melukis, merajut, menyulam, berkebun, dll. Pokoknya dunia berhenti dan dia hanya fokus pada kegiatan itu dan dirinya.

Bagi keduanya harus dikasih waktu untuk hal-hal semacam itu. Biar hidup gk kayak mesin. Biar happy. Katanya pelayan ALLAH. Kalo gk happy gimana bisa melayani.

Walaupun sejatinya energi terbesar untuk happy dan melayani dijalan ALLAH adalah hubungan kita dengan ALLAH sendiri. Gk ada yang lain. Yang lain cuma decorating my life. Biar hidup ada manis-manisnya.

Dan dibalik pengetahuan kita tentang fitrah pskologi yang berbeda, dasar terdalamnya adalah iman kepada ALLAH. Jika iman hidup dihati tak mungkin ia rela menyakiti atas ketidakpahaman pasangannya. Dan kemauan untuk terus belajar, termasuk belajar untuk memaafkan, membangun kembali long life journey yang indah. Karena kesalahan tak tersebab disatu pihak. Kita adalah pasangan. ALLAH yang memasangkan. Maka berjuanglah untuk tetap bersama dalam kebaikan. FIGHT!!!






Sunday, August 14, 2016

Bukan catatan istimewa

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

MasyaAllah...emang Allah tu dahsyat ya. Kita doa apa, dikasih criiing jawabannya apa.

Baruuu aja berani mengikrarkan kediri sendiri klo diri ini alhamdulillah sudah ikhlas, sudah bebas, sudah dalam lembaran baru, gk inget yg lalu lalu, bersyukur atas segala nikmat.

Gak lama tu hati sama Allah dibiarin tanpa uji. Langsung orang2 tersayang pada didatengin Allah untuk mancing azzam saya. Kuat gk ni si dewi menahan lidahnya untuk gk cerita. Setia gk ni dewi sama janjinya sendiri untuk tutup lembaran lama. Allaaah...mana ngerti deh perasaan orang kalo gk ngerasain sendiri.

Mirip drama emang yang namanya hidup. Dan udah deh beneran gk tahaaaan...ngungsi lagi aja kesini daripada nangis sendirian dipojokan.

Masalahnya emang susah ya perempuan. Diperhatin dikit, langsung bawaannya pingin cerita.
Dibilang kurus, dibecandain gk keurus bawaannya juga pingin cerita. Wiiiih, Allah tu kalo mau uji manusiaaaa....didatenginNya apa apa yg jd kelemahan kita. Begituuu terus. Sampe kita lulus.

Padahal kalau mau melihat lebih dekat, sebenernya kita tahu jawabannya. Kita tahu apa yang harus dilakukan.
Kita hanya butuh connect lagi sama Allah. Senyum lagi. Bersyukur lagi. Tengok vision board lagi. Beres.

Ya gk mungkin dooong Allah biarin aja janji-janji manisnya manusia tanpa uji. Allah gk mau nerima iman yang tanggung-tanggung.

Lagipula gk bakalan ada pengaruhnya apa-apa ketika lidah dibiarkan mengumbar semuanya, selain hanya puas dan ujungnya menyakiti hati yang telah taubat.
Biar aja. (Semoga) bisa menjadi tabungan kebaikan.

Saya ingat nasehat seorang kakak rohis pertama yang saya kenal. 

"Menjaga hati itu bukan hanya menjaga hati sendiri, tapi juga hati orang lain".
Dalam konteks apapun (yang tentu saja konteks dulu dan sekarang jauh bedanya), saya yakin nasehat ini adalah akhlak yang harus saya tata.

Saya bersyukur pada Allah, Allah kasih saya kesempatan untuk mendapatkan banyak perasaan dari satu judul kejadian. Mulai dari kesal, jijik, heran, benci, dendam, menyalahkan diri sendiri, minder, hingga akhirnya memaafkan, menerima dan bersyukur. Banyak sekali hadiah yabg Allah beri. Dan rasanya bener-bener indah. Saya gk bercanda. Saya bisa bilang itu indah karena saya sudah berdiri dilembar yang berbeda.

Yang saya sesalkan cuma satu. Saya terlalu lambat dalam memahami maunya ALLAH.  Saya terlalu lama membuang waktu.

Jadi rasanya gk pantas yah kalau saya masih tergoda untuk balik lagi ke drama kehidupan yang sudah saya tinggalkan. Hanya untuk memuaskan nafsu saja. Emangnya mau buang waktu berapa lama lagi???

Lebih baik fokus pada apa yang dapat diambil dari kejadian pahit. Fokus pada bagaimana mengatasinya. Fokus pada apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslimah. Next time yaah.

Ada quote bagus untuk saya sendiri.
"I can't go back to yesterday. Because i was a different person then."

Aaah betapa kalian yang ada dalam lintasan doakuuu....semoga ketertinggalan masih bisa dikejar.

=========

Ternyata pas dibaca ulang si dewi masih sama. Suka gk jelas dg apa yg dia tulis. Ya kali ini memang cuma niat nyampah, bersihin hati. Bukan melembutkan hati. Gk mungkin juga ditulis dg sejelas jelasnya dlm tempo sesingkat singkatnya. Karena ini drama.  Halah.

Thursday, April 23, 2015

Everybody love him. Ustad Rahmat Abdullah (alm)

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu."
(K.H. Rahmat Abdullah)

“Sekali lagi… Amanah terembankan pada pundak yang semakin lelah. Bukan sebuah keluhan, ketidakterimaan.. keputusasaan! Terlebih surut ke belakang. Ini adalah awal pembuktian.. Siapa diantara kita yang beriman. Wahai diri sambutlah seruanNya… Orang-orang besar lahir karena beban perjuangan… Bukan menghindar dari peperangan."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Jadilah kalian orang-orang yang:
Paling kokoh sikapnya
Paling lapang dadanya
Paling dalam pemikirannya
Paling luas cara pandangnya
Paling rajin amal-amalnya
Paling solid penataan organisasinya
Paling banyak manfaatnya."
(Syaikhut Tarbiyah, K.H. Rahmat Abdullah)

“Merendahlah, engkaukan seperti bintang gemintang, berkilau dipandang orang di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah hina."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Lupakanlah kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan kepada orang lain, tapi jangan sekali-kali kamu melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah orang lain lakukan terhadapmu. Lupakanlah keburukan-keburukan yang pernah orang lain lakukan terhadapmu, tapi jangan sekali-kali kamu melupakan keburukan-keburukan yang pernah kamu lakukan terhadap orang lain."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Bukannya tidak menyakitkan. Bahkan para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak… Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari akhirnya menjadi adaptasi, dan rasa lelah itu sendiri akhirnya lelah untuk mencekik iman. Begitupula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka."
(K.H. Rahmat Abdullah).

====
Air mata ini mengalir ketika membaca kutipan-kutipan beliau.
Rasa malu ketika beban dunia ataupun problem dg pasangan dan keluarga masih menjadi penghalang cinta diri ini thd dakwah. Padahal begitu banyak diluar sana para ummahat yang tetap mengurai senyum dan amal perbuatan ditengah luka hati yang dalam bagi kebanyakn orang lain, tapi mereka memutuskan untuk tidak terpengaruh. Bagi mereka hal semacam itu hanyalah hamparan takdir yang tak bisa membuat semangat dan tanggung jawab mereka luruh dalam menyikapi hidup dengan tetap arif.

Selamat menyusun niat kembali, dewi. Selamat melukis hidup agar tetap indah. Bismillahirrahmanirrahim.

Monday, March 16, 2015

Pesan untuk orang-orang biasa

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Kumpulan tulisan ini adalah anak-anak zamannya. Lahir saat badai menerpa seluruh sisi kehidupan bangsa kita. Kumpulan tulisan ini adalah kerja kecil untuk tetap mempertahankan harapan dan optimisme kita ditengah badai itu.

Krisis adalah takdir semua bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan kebumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali kelangit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis.

Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.

Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang dihidupkan kumpulan tulisan ini. Maka tulisan-tulisan ini mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroisme yang melahirkan kekaguman tapi tidak mendorong kita meneladaninya.

Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Jadi tulisan-tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya sendiri, atau juga anda para pembaca, yang mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.

Sukses blog ini tidak perlu diukur dengan tiras besar. Tapi jika ada satu-dua hati yang mulai tergerak, dan mulai bekerja, saya akan cukup yakin berdoa kepada Allah: "Ya Allah, Jadikanlah kerja kecil ini sebagai kendaraan yang akan mengantarku menuju ridha dan surga-Mu.

Anis Matta

Momentum kepahlawanan

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan.

Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Simaklah firman Allah SWT, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan....” (Al-Qashash: 14)

Usaha manusiawi yang dapat kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan di sini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan kemudian mengkristalisasikannya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruangan keserbamungkinan” dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah. Atau, setidaknya mengantar kita untuk berdiri dipintu gerbang sejarah.

Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah mempersoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam infestasi. Seperti apapun baiknya peluang anda, hal itu tidak berguna jika pada dasarnya Anda memang tidak punya modal. Peluang sejarah hanyalah ledakan keharmonisan dari kematangan yang terabaikan. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian dalan medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi, anda harus memilih salah satunya, maka pilihlah keberanian tanpa pedang dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam ilmu. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dimana anda mengharap datangnya sentuhan keberuntungan.

Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Para pahlawan mukmin sejati bukanlah pemimpi di siang bolong, atau orang-orang yang berdoa dalam kekosongan dan ketidakberdayaan. Mereka adalah para petani yang berdoa ditengah sawah, para pedagang yang berdoa ditengah kecamuk perang. Mereka mempunyai mimpi besar, tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sekali-kali mereka menatap langit untuk menyegarkan ingatan pada misi mereka. Namun, setelah itu mereka menyeka keringat dan kembali bekerja kembali.

Wilayah kerja adalah lingkungan realitas, sedangkan wilayah peluang adalah ruang keserbamungkinan. Semakin luas pijakan kaki kita dalam lingkaran kenyataan, semakin besar kemungkinan menjadi kepastian, mengubah peluang menjadi pekerjaan, mengubah mimpi menjadi kenyataan.

Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pintu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Khairil Anwar:

Aku
kalau sampai waktuku
ku mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau ….

Anis Matta

Keunikan

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan alam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum histiris yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.

Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan, karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup ditengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena memang mereka tidak berbakat.

Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia ciptakan.”

Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini menyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.

Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhirnya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan ini bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.

Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi mereka dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu berkumpul dalam diri sang pahlawan.

Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa dan derai air mata dan bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.

Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan merasa kehilangan.

Anis Matta

Kesempurnaan

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan.

Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(Al-Baqarah: 286).

Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan baru, “Bagaimana cara mengetahui batas maksimum itu?”

Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al-Ghazali dalam Jaddid Hayataka, ternyata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori realitivitas, jika sebanding dengan total umurnya?

Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur'an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).

Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempunaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain. Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.

Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukmin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu, kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”

Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya surah Al-Nasr pada saat Fathu Makkah, “Apabila ia datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya Ia Maha Menerima Taubat.”

Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya. Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi' bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat seerhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Anis Matta

Dibalik Keharumanya

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengetahui berapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu. Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut, karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.

Apa yang dirasakan “orang luar” berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu yang tidak diketahui orang banyak. Maka, seorang penyair Arab terbesar, Al-Mutanabbi, mengatakan, “orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin diciptakan oleh kedermaanan. Orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.”

Akan tetapi, ada juga kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena, ia hidup ditengah-tengah mereka, setiap hari, bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Mereka harus menikmatinya. Maka, merekalah yang sering menggoda sang pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tetapi juga sekali-kali “turun” ke bumi.

Kedua sikap itu adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan. Sebab, hal itu akan mempercepat munculnya rasa puas dalam dirinya, sehingga karya yang sebenarnya belum sampai puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebab Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”

Panggilan turun ke bumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan, privasi kita akan sangat terganggu. Namun, itulah pajaknya. Akan tetapi, banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan mereka, karena tergoda “kembali” kehabitat manusia biasa, seperti angin sepoy yang mengirim ngantuk kepada orang yang sedang membaca, seperti itulah panggilan turun kebumi menggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, Rasul-Nya, dan jihad dijalan-Nya.

Maka, para pahlwan mikmin sejati berdiri tegak disana; diantara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan: tidak ada kepuasaan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.

Anis Matta

Sahabat sang pahlawan

Posted by Denas (Dewi Nastiti) 0 comments

Anda harus waspada dan berhati-hati! Sebab, disini ada jebakan kepahlawanan yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.

Dalam lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada ditengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada “orang lain” yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.

Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan. Mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas dengan bergaul dan menjadi sahabat para pahlawan. Mereka sudah cukup puas dengan mengatakan, “Oh, pahlawan itu sahabatku,” atau ungkapan “Oh, pahlawan itu seangkatan denganku.” orang-orang itu tidak mau bertanya, mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan.

Akan tetapi, ada “orang biasa” yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering berperilaku seakan-akan dialah sang pahlawan.

Yang kita saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi “orang biasa” dengan sahabatnya yang “pahlawan”. Ini merupakan tipuan jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar kepahlawanan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.

Persahabatan memang sering menipu, bukan karena tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para “murid” yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan para ulama. Katanya, “Waspadalah, jangan merasa telah menjadi ulama, hanya karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”

Apakah kita harus meninggalkan sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya kedalam sebuah majelis, dimana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan juga istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Jangan melakukan identifikasi diri yag salah. Jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Katanya hidup ini singkat. Jadi jangan disia-siakan. Old saying banget ya. But it's true lho.

Dan kali ini saya pingin berbicara tentang hidup....tentang muslimah...atau lebih tepatnya kehidupan muslimah.

......

Kenapa dengan kehidupan muslimah? Kenapa mesti dibahas? Apa pentingnya?

Menurut saya penting. Muslimah kan madrasah pertama sebuah generasi. Bagus gk nya sebuah generasi ya tergantung kualitas muslimahnya.

Tapiiii banyak muslimah yang saya temui (mungkin kemarin saya juga sempat mengalami), ternyata gk paham dengan hidupnya. Entah karena nge blank dari awal atau karena sedang mengalami masalah yang ia anggap berat.

Mereka ngalir aja jalanin hari-hari. Dan yang parah lagi ada diantara mereka yang jalanin hari-harinya dalam tekanan karena merasa "bukan hidup yang ini yang aku mau". MasyaAllaaah. Kasihannya.

Padahal muslimah itu dihadapkan dengan peran yang banyak ya. Dan dia gk ngerti posisi sekaligus how to winning of life nya. Gimana coba?

Kita ngobrol sebentar ya. Jadi saya punya guru (semoga Allah senantiasa merahmati kehidupan mereka), nah dari mereka saya bisa belajar dan mendapat arti kemerdekaan cuma dari selembar kertas-dua gambar. Caileee...
Eh ini beneran lho.

Kalo teman2 pernah denger atau suka bikin yang namanya "peta hidup" (dan saya kebetulan juga suka bikin sejak smu), nah rumusan gambar dr guru saya yang ini tuh lebih futuh lagi.

Sekali bisa ngisi semua bilik-biliknya, teman2 akan tenang dan merdeka ngejalanin hidup ini. #ehem. Bismillah yaa

Saya coba gambarin rumus yang pertama. Gak usah dibatin gambarnya acak adul, nanti saya jelasin detailnya.

(Duh sebenernya sih mau nulis sambil mikir ya, usefull gak sih nulis ini. Ah tapi minimal someday anak saya bisa baca tulisan bundanya klo dia pas kangen. Collect the moments, Dew)

Sekarang kita fokus sama gambar yang berupa kuadran. Disana ada 4 bilik Key of life.
Bilik yang pertama adalah Who am I. Teman-teman wajib tau siapa diri teman-teman. Perlu waktu lama ya untuk mengisi? Atau harus merenung panjang selama 30tahun seperti Oogway mencari arti 'aku'? Kalah ya sama Poo.

Tapi ini penting. Ayo diisi. Pelan-pelan kita harus ngobrol sama diri sendiri, siapa aku apa saja peranku.

Saya, saya adalah seorang istri, seorang ibu, seorang anak, seorang adik, seorang owner kedaton, seorang owner martani.

Kenyataannya memang diri kita punya banyak peran kan? Jadi jangan ada yang dibuang atau terlupakan salah satunya.

Bilik yang kedua adalah My Life Dream.

Teman-teman ketik sudah tau dan yakin siapa diri teman-teman, sekarang coba tulis apa yang menjadi mimpi hidup.

Mudahnya adalah, saya yang sebagai seorang istri bercita-cita ingin menjadi istri yang menentramkan bagi suami. Tempat kembali yang menyenangkan. Misalnya.

Saya yang sebagai ibu bercita-cita ingin menjadi ibu yang dekat dengan anak-anak, diidolakan. Hehe

Saya yang sebagai seorang adik bercita-cinta ingin menjadi adik yang bisa membahagiakan kakak dunia dan akhirat.

Dan seterusnya.

Intinya harus tahu siapa diri teman-teman dan apa yang dimau.

Bilik ketiga adalah Relationship with others. Bilik keempat Relationship with Allah. Dua bilik ini adalah kunci utamanya. Didunia yang kita ingin menggapai mimpi, pasti kita tak sendiri. Dan karena tak sendiri, disanalah masalah muncul. Kita perlu kunci agar tetap fokus.

Kunci yang pertama jelas hubungan kita dengan Allah. Sadari betul bahwa hidup ini keseluruhannya adalah hadiah dari Allah. Dan yang namanya hadiah, berarti wajib trimakasih -gak boleh ada komplain. Pasti indah.

Kapan terakhir teman-teman terconnect dengan Allah? Yuk kita jawab dalam hati.

Muslimah yang katanya udah gak punya waktu bahkan sholat pun jarang bisa khusyuk karena digendolin anak, sebenarnya tetap punya hak untuk bermesra-mesra dengan Allah.

Dalam sehari harus punya prime time yang kita gak bisa diganggu dunia karena itu bekal sebelum melayani. Muslimah harus selesai dulu dengan dirinya.

Apakah itu dengan sholat malam, tilawah, membaca tafsir quran, buku, berbincang hati. Apapun yang melekatkan kita pada wudhu dan sajadah. Hanya Allah dan kita.

Kunci yang kedua adalah sikap kita dalam berhubungan dengan makhluk lain. NO JUDGEMENT. LIHAT LEBIH DEKAT.
Cuma itu. Iya cuma itu. Dan itu udah cukup untuk membuat hidup jadi merdeka.  Tahu siapa kita, tahu apa yang dimau, berfokus untuk connect dengan Allah, merdeka dari manusia. What a wonderful world.

Nampaknya kelanjutan gambar kedua gak akan saya tulis sekarang. Ngantuk. Hehehe...see you dear friends.








Denas (Dewi Nastiti)

Kali ini tulisan saya akan sedikit mengadu antara perempuan dan laki-laki.

Bukan. Bukan untuk mencari siapa yang unggul dan siapa yang tertinggal. Bukan untuk mencari siapa yang sempurna dan siapa yang tidak.

Fitrah Allah menciptakan segala yang bertolak belakang hanya untuk bersanding. Bersinergi.

Begitupun para pasangan suami istri dibumi ini. Fitrahnya memang bertolak belakang. Dalam sebuah kajian psikologi sisi laki-laki digambarkan sebagai Mars dan perempuan digambarkan sebagai Venus.

Belajar memahami keduanya, sebenarnya itu adalah kunci dalam membina hubungan suami istri. Karena pada kenyataannya teman hidup kita bukanlah jenis makhluk Allah yang sama dengan diri kita. Ia butuh diperlakukan sesuai dengan fitrahnya.

Sayangnya, sebelum menikah tidak banyak (atau mungkin belum ada), kelas kajian yang mengupas persiapan untuk menjadi suami/istri bahkan menjadi ayah/ibu dari sisi psikologi. Hal ini penting apalagi dimasa-masa awal pernikahan.

Siapa yang bisa menyangka bahwa bagi perempuan Love is relationship, gandengan tangan udah cukup, belai-belai aja udah beres. Dan siapa yang bisa sangka kalo ternyata bagi laki-laki Love is s*x. Yang artinya klo belum dapet yang itu ya belum love. Mau karena istri hamil atau anak lahir. Yang satu lagi fokus2nya ke anak ternyata yang lain tetap punya fokus juga.

Dari satu poin ini aja, kalo komunikasi masih malu-malu dan gak jujur, bisa jadi bencana dalam rumah tangga. Padahal akarnya karena gak paham. (Dan gk komunikasi).

Siapa yang sangka kalo bagi perempuan saat ada masalah pinginnya ditanya dan didengerin sambil dipeluk. Tapi bagi laki-laki mending ditinggal menyepi sendirian? Salah treatment aja bisa jadi musuhan sampe jelang pagi. Padahal cuma karena gk paham (dan gk komunikasi).

Laki-laki yang memang fitrahnya bekerja dengan satu fokus besar, kadang sama perempuan suka dianggap gk multitasking. Perempuan suka gk sabar hadapinnya. Padahal laki-laki sering nemunin hasil kerja yang ceroboh dari perempuan yang katanya multitasking.

Switch off button. Nah ini juga beda. Laki-laki dengan dia duduk pegang koran/majalah/berita dr gadget sambil nyeruput kopi aja udah bisa tu tombolnya berfungsi. (Walaupun banyak juga laki-laki yang nambah jatah masuk kedalam 'gua'. Hobby or their games. Ingatlah quote ini wahai perempuan, "Difference things a man and the boys is the price of their toys", jangan kaget walaupun hati mau copooottt nerima kenyataan hahahaha).

Sedangkan perempuan (yang dalam tidurnya aja dia mikir), harus ada kegiatan yang bisa hentiin otaknya. Entah itu melukis, merajut, menyulam, berkebun, dll. Pokoknya dunia berhenti dan dia hanya fokus pada kegiatan itu dan dirinya.

Bagi keduanya harus dikasih waktu untuk hal-hal semacam itu. Biar hidup gk kayak mesin. Biar happy. Katanya pelayan ALLAH. Kalo gk happy gimana bisa melayani.

Walaupun sejatinya energi terbesar untuk happy dan melayani dijalan ALLAH adalah hubungan kita dengan ALLAH sendiri. Gk ada yang lain. Yang lain cuma decorating my life. Biar hidup ada manis-manisnya.

Dan dibalik pengetahuan kita tentang fitrah pskologi yang berbeda, dasar terdalamnya adalah iman kepada ALLAH. Jika iman hidup dihati tak mungkin ia rela menyakiti atas ketidakpahaman pasangannya. Dan kemauan untuk terus belajar, termasuk belajar untuk memaafkan, membangun kembali long life journey yang indah. Karena kesalahan tak tersebab disatu pihak. Kita adalah pasangan. ALLAH yang memasangkan. Maka berjuanglah untuk tetap bersama dalam kebaikan. FIGHT!!!






Denas (Dewi Nastiti)

MasyaAllah...emang Allah tu dahsyat ya. Kita doa apa, dikasih criiing jawabannya apa.

Baruuu aja berani mengikrarkan kediri sendiri klo diri ini alhamdulillah sudah ikhlas, sudah bebas, sudah dalam lembaran baru, gk inget yg lalu lalu, bersyukur atas segala nikmat.

Gak lama tu hati sama Allah dibiarin tanpa uji. Langsung orang2 tersayang pada didatengin Allah untuk mancing azzam saya. Kuat gk ni si dewi menahan lidahnya untuk gk cerita. Setia gk ni dewi sama janjinya sendiri untuk tutup lembaran lama. Allaaah...mana ngerti deh perasaan orang kalo gk ngerasain sendiri.

Mirip drama emang yang namanya hidup. Dan udah deh beneran gk tahaaaan...ngungsi lagi aja kesini daripada nangis sendirian dipojokan.

Masalahnya emang susah ya perempuan. Diperhatin dikit, langsung bawaannya pingin cerita.
Dibilang kurus, dibecandain gk keurus bawaannya juga pingin cerita. Wiiiih, Allah tu kalo mau uji manusiaaaa....didatenginNya apa apa yg jd kelemahan kita. Begituuu terus. Sampe kita lulus.

Padahal kalau mau melihat lebih dekat, sebenernya kita tahu jawabannya. Kita tahu apa yang harus dilakukan.
Kita hanya butuh connect lagi sama Allah. Senyum lagi. Bersyukur lagi. Tengok vision board lagi. Beres.

Ya gk mungkin dooong Allah biarin aja janji-janji manisnya manusia tanpa uji. Allah gk mau nerima iman yang tanggung-tanggung.

Lagipula gk bakalan ada pengaruhnya apa-apa ketika lidah dibiarkan mengumbar semuanya, selain hanya puas dan ujungnya menyakiti hati yang telah taubat.
Biar aja. (Semoga) bisa menjadi tabungan kebaikan.

Saya ingat nasehat seorang kakak rohis pertama yang saya kenal. 

"Menjaga hati itu bukan hanya menjaga hati sendiri, tapi juga hati orang lain".
Dalam konteks apapun (yang tentu saja konteks dulu dan sekarang jauh bedanya), saya yakin nasehat ini adalah akhlak yang harus saya tata.

Saya bersyukur pada Allah, Allah kasih saya kesempatan untuk mendapatkan banyak perasaan dari satu judul kejadian. Mulai dari kesal, jijik, heran, benci, dendam, menyalahkan diri sendiri, minder, hingga akhirnya memaafkan, menerima dan bersyukur. Banyak sekali hadiah yabg Allah beri. Dan rasanya bener-bener indah. Saya gk bercanda. Saya bisa bilang itu indah karena saya sudah berdiri dilembar yang berbeda.

Yang saya sesalkan cuma satu. Saya terlalu lambat dalam memahami maunya ALLAH.  Saya terlalu lama membuang waktu.

Jadi rasanya gk pantas yah kalau saya masih tergoda untuk balik lagi ke drama kehidupan yang sudah saya tinggalkan. Hanya untuk memuaskan nafsu saja. Emangnya mau buang waktu berapa lama lagi???

Lebih baik fokus pada apa yang dapat diambil dari kejadian pahit. Fokus pada bagaimana mengatasinya. Fokus pada apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslimah. Next time yaah.

Ada quote bagus untuk saya sendiri.
"I can't go back to yesterday. Because i was a different person then."

Aaah betapa kalian yang ada dalam lintasan doakuuu....semoga ketertinggalan masih bisa dikejar.

=========

Ternyata pas dibaca ulang si dewi masih sama. Suka gk jelas dg apa yg dia tulis. Ya kali ini memang cuma niat nyampah, bersihin hati. Bukan melembutkan hati. Gk mungkin juga ditulis dg sejelas jelasnya dlm tempo sesingkat singkatnya. Karena ini drama.  Halah.

Denas (Dewi Nastiti)

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu."
(K.H. Rahmat Abdullah)

“Sekali lagi… Amanah terembankan pada pundak yang semakin lelah. Bukan sebuah keluhan, ketidakterimaan.. keputusasaan! Terlebih surut ke belakang. Ini adalah awal pembuktian.. Siapa diantara kita yang beriman. Wahai diri sambutlah seruanNya… Orang-orang besar lahir karena beban perjuangan… Bukan menghindar dari peperangan."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Jadilah kalian orang-orang yang:
Paling kokoh sikapnya
Paling lapang dadanya
Paling dalam pemikirannya
Paling luas cara pandangnya
Paling rajin amal-amalnya
Paling solid penataan organisasinya
Paling banyak manfaatnya."
(Syaikhut Tarbiyah, K.H. Rahmat Abdullah)

“Merendahlah, engkaukan seperti bintang gemintang, berkilau dipandang orang di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah hina."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Lupakanlah kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan kepada orang lain, tapi jangan sekali-kali kamu melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah orang lain lakukan terhadapmu. Lupakanlah keburukan-keburukan yang pernah orang lain lakukan terhadapmu, tapi jangan sekali-kali kamu melupakan keburukan-keburukan yang pernah kamu lakukan terhadap orang lain."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari."
(K.H. Rahmat Abdullah)

"Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Bukannya tidak menyakitkan. Bahkan para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak… Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari akhirnya menjadi adaptasi, dan rasa lelah itu sendiri akhirnya lelah untuk mencekik iman. Begitupula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka."
(K.H. Rahmat Abdullah).

====
Air mata ini mengalir ketika membaca kutipan-kutipan beliau.
Rasa malu ketika beban dunia ataupun problem dg pasangan dan keluarga masih menjadi penghalang cinta diri ini thd dakwah. Padahal begitu banyak diluar sana para ummahat yang tetap mengurai senyum dan amal perbuatan ditengah luka hati yang dalam bagi kebanyakn orang lain, tapi mereka memutuskan untuk tidak terpengaruh. Bagi mereka hal semacam itu hanyalah hamparan takdir yang tak bisa membuat semangat dan tanggung jawab mereka luruh dalam menyikapi hidup dengan tetap arif.

Selamat menyusun niat kembali, dewi. Selamat melukis hidup agar tetap indah. Bismillahirrahmanirrahim.

Denas (Dewi Nastiti)

Kumpulan tulisan ini adalah anak-anak zamannya. Lahir saat badai menerpa seluruh sisi kehidupan bangsa kita. Kumpulan tulisan ini adalah kerja kecil untuk tetap mempertahankan harapan dan optimisme kita ditengah badai itu.

Krisis adalah takdir semua bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan kebumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali kelangit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis.

Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.

Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang dihidupkan kumpulan tulisan ini. Maka tulisan-tulisan ini mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroisme yang melahirkan kekaguman tapi tidak mendorong kita meneladaninya.

Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Jadi tulisan-tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya sendiri, atau juga anda para pembaca, yang mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.

Sukses blog ini tidak perlu diukur dengan tiras besar. Tapi jika ada satu-dua hati yang mulai tergerak, dan mulai bekerja, saya akan cukup yakin berdoa kepada Allah: "Ya Allah, Jadikanlah kerja kecil ini sebagai kendaraan yang akan mengantarku menuju ridha dan surga-Mu.

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan.

Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Simaklah firman Allah SWT, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan....” (Al-Qashash: 14)

Usaha manusiawi yang dapat kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan di sini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan kemudian mengkristalisasikannya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruangan keserbamungkinan” dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah. Atau, setidaknya mengantar kita untuk berdiri dipintu gerbang sejarah.

Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah mempersoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam infestasi. Seperti apapun baiknya peluang anda, hal itu tidak berguna jika pada dasarnya Anda memang tidak punya modal. Peluang sejarah hanyalah ledakan keharmonisan dari kematangan yang terabaikan. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian dalan medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi, anda harus memilih salah satunya, maka pilihlah keberanian tanpa pedang dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam ilmu. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dimana anda mengharap datangnya sentuhan keberuntungan.

Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Para pahlawan mukmin sejati bukanlah pemimpi di siang bolong, atau orang-orang yang berdoa dalam kekosongan dan ketidakberdayaan. Mereka adalah para petani yang berdoa ditengah sawah, para pedagang yang berdoa ditengah kecamuk perang. Mereka mempunyai mimpi besar, tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sekali-kali mereka menatap langit untuk menyegarkan ingatan pada misi mereka. Namun, setelah itu mereka menyeka keringat dan kembali bekerja kembali.

Wilayah kerja adalah lingkungan realitas, sedangkan wilayah peluang adalah ruang keserbamungkinan. Semakin luas pijakan kaki kita dalam lingkaran kenyataan, semakin besar kemungkinan menjadi kepastian, mengubah peluang menjadi pekerjaan, mengubah mimpi menjadi kenyataan.

Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pintu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Khairil Anwar:

Aku
kalau sampai waktuku
ku mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau ….

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan alam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum histiris yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.

Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan, karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup ditengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena memang mereka tidak berbakat.

Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia ciptakan.”

Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini menyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.

Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhirnya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan ini bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.

Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi mereka dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu berkumpul dalam diri sang pahlawan.

Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa dan derai air mata dan bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.

Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan merasa kehilangan.

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan.

Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(Al-Baqarah: 286).

Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan baru, “Bagaimana cara mengetahui batas maksimum itu?”

Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al-Ghazali dalam Jaddid Hayataka, ternyata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori realitivitas, jika sebanding dengan total umurnya?

Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur'an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).

Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempunaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain. Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.

Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukmin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu, kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”

Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya surah Al-Nasr pada saat Fathu Makkah, “Apabila ia datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya Ia Maha Menerima Taubat.”

Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya. Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi' bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat seerhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengetahui berapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu. Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut, karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.

Apa yang dirasakan “orang luar” berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu yang tidak diketahui orang banyak. Maka, seorang penyair Arab terbesar, Al-Mutanabbi, mengatakan, “orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin diciptakan oleh kedermaanan. Orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.”

Akan tetapi, ada juga kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena, ia hidup ditengah-tengah mereka, setiap hari, bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Mereka harus menikmatinya. Maka, merekalah yang sering menggoda sang pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tetapi juga sekali-kali “turun” ke bumi.

Kedua sikap itu adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan. Sebab, hal itu akan mempercepat munculnya rasa puas dalam dirinya, sehingga karya yang sebenarnya belum sampai puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebab Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”

Panggilan turun ke bumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan, privasi kita akan sangat terganggu. Namun, itulah pajaknya. Akan tetapi, banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan mereka, karena tergoda “kembali” kehabitat manusia biasa, seperti angin sepoy yang mengirim ngantuk kepada orang yang sedang membaca, seperti itulah panggilan turun kebumi menggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, Rasul-Nya, dan jihad dijalan-Nya.

Maka, para pahlwan mikmin sejati berdiri tegak disana; diantara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan: tidak ada kepuasaan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.

Anis Matta

Denas (Dewi Nastiti)

Anda harus waspada dan berhati-hati! Sebab, disini ada jebakan kepahlawanan yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.

Dalam lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada ditengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada “orang lain” yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.

Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan. Mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas dengan bergaul dan menjadi sahabat para pahlawan. Mereka sudah cukup puas dengan mengatakan, “Oh, pahlawan itu sahabatku,” atau ungkapan “Oh, pahlawan itu seangkatan denganku.” orang-orang itu tidak mau bertanya, mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan.

Akan tetapi, ada “orang biasa” yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering berperilaku seakan-akan dialah sang pahlawan.

Yang kita saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi “orang biasa” dengan sahabatnya yang “pahlawan”. Ini merupakan tipuan jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar kepahlawanan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.

Persahabatan memang sering menipu, bukan karena tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para “murid” yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan para ulama. Katanya, “Waspadalah, jangan merasa telah menjadi ulama, hanya karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”

Apakah kita harus meninggalkan sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya kedalam sebuah majelis, dimana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan juga istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Jangan melakukan identifikasi diri yag salah. Jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.

Anis Matta

 

Notes from Denas Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Templates Image by Tadpole's Notez